0

Penganut Buddhisme tidak menyembah berhala

Senin, 22 Maret 2010
Share this Article on :
oleh:Slamet Rodjali

Berikut ini argumen2 untuk menjelaskan bahwa Buddhist tidak menyembah
patung batu dan kayu.

Penyembah berhala, apakah tolok ukurnya?

Ketika saya bertemu dengan doktor pribadi saya, beliau bertanya tentang kegiatan religius saya. Dan ketika beliau telah mengetahui merek religius saya, ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan
saya disarankan untuk memiliki pegangan hidup agar di hari kiamat yang telah dekat, saya dapat tertolong sehingga dapat terlahir di surga abadi.

Lalu saya bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya menyembah patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah benar saya menyembah patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya, saya menghormat dan memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik, keberhasilan dan sebagainya kepada patung yang terbuat dari batu dan tak ada bedanya dengan animisme, penyembah batu, religius berhala.

Kemudian saya berkata: "Pernyataan dokter seolah-olah menunjukkan bahwa perihal pikiran saya, sepertinya dokter lebih tahu dari pikiran saya sendiri, darimanakah dokter mengetahui bahwa saya menghormat dan memohon�mohon kepada patung, apakah dokter dapat membaca pikiran
saya, tolong dokter memberikan petunjuk bagi saya."

Maka iapun menjawab bahwa kebanyakan, orang yang bertingkah laku di depan patung adalah demikian, sehingga diambil kesimpulan bahwa itu menyembah dan memohon kepada patung.
Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum terjadi di masyarakat: "Ketika rakyat suatu negara mengangkat tangan di atas kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera Nasional Negara itu
pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku orang-orang
itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada bendera itu?"

Dokter saya menjawab, bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak menyembah atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka mengenang perbuatan / kualitas jasa para pahlawan sehingga secara alamiah mereka tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan patriot para
pahlawannya."

Kemudian saya lanjutkan: "Mungkinkah penganut religius yang dokter
sebut sebagai penyembah patung/berhala ta di, ketika berlutut di
bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-
sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung tadi,
atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang
dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang
sedang mengenang jasa para pahlawannya?"

Beliau menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali
bertanya:"Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan
dengan pikiran baik tersebut apakah masih layak disebut sebagai
penyembah patung/berhala, dan jika saya melakukan seperti itu, apakah
tepat pernyataan dokter pertama tadi bahwa saya adalah penyembah
berhala?"

Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya melanjutkan: "Mengapa
tidak?" Karena penyembah berhala artinya menyembah dan meminta-minta
sesuatu (rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang
tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut.

Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan bertanya kepada
beliau: "Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter berbicara
sangat terbuka, oleh karena itu ijinkanlah saya bertanya secara
terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini
tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter dalam
mempraktikkan kepercayaan religius yang dokter anut, acap kali
meminta atau memohon sesuatu (keselamatan, rejeki dsb) kepada sesuatu
yang sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui (tanpa atau
dengan media tertentu seperti patung atau hal lainnya)?"

Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi:"Selama ini saya telah
salah pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami,
maafkan saya! Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala
dibandingkan kamu, karena saya sering kali meminta atau memohon
sesuatu (rejeki, kesehatan, keselamatan dan sebagainya) kepada
sesuatu yang memang saya belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan saya,
selama ini saya telah salah menilai kepercayaan religius yang kamu
pahami hanya dari penampakan luar. Ternyata sisi batin si pelaku
sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus terang, saya merasa
syukur atas keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan
salah menilai seperti itu lagi.

Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi
secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki
ruang yang terdapat patung seorang guru besar yang bernama Gotama.
Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun, memang kebanyakan

para penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran
religiusnya (tidak mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan
kemampuan logika pada taraf tertentu), sehingga mereka terjebak ke
dalam praktik keliru sebagai pemuja berhala.

Bagi kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai
alat bantu bagi para pemula (bagi yang telah pandai sama sekali tidak
memerlukan alat bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap batinnya
sepert yang dimiliki oleh guru besar Gotama, yaitu:
1. Murah-hati (dermawan)
2. Bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah,
tidak berdusta, tidak memakan atau meminum makanan atau minuman yang
melemahkan kewaspadaan)
3. Tidak terikat/tidak melekat
4. Bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
5. Bersemangat
6. Sabar
7. Selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
8. Memiliki tekad yang kuat
9. Memiliki cinta kasih terhadap semua mahluk (tidak pandang
bangsa, ras, agama, golongan, sekte, mahluk, dsb)
10. Sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam
suka maupun duka)

Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak
menjadi masalah. Guru besar kami sama sekali tidak mengajarkan
pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati. Tindakan melalui
pikiran, ucapan dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh
dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat
mutlak untuk merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap mahluk
mengharapkan kebahagiaan, namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena
berdoa, meminta-minta.

Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada
sebab tepat yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan
menimbulkan akibat yang baik; sebaliknya sebab yang buruk akan
menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses sebab akibat ini akan
berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya terpenuhi; mereka
berproses secara alamiah. Pengertian yang benar mengenai proses
inilah yang menyebabkan saya secara sukarela berusaha melakukan
kebaikan tanpa tergiur oleh janji/iming-iming surga dan secara
sukarela pula berusaha tidak melakukan kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan
ancaman neraka. Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan
kesalahpahaman antar penganut religius.

[Slamet Rodjali] [Buletin Dharma Manggala Mei 2007]


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar