0

Menjemput Surga

Sabtu, 14 November 2009
Share this Article on :


Menjemput Surga


Wito namanya. Ia seorang yatim. Ayahnya meninggal saat ia masih di bangku
Madrasah Ibtidaiyah. Sedih tentu. Tapi, ia dan keluarga bukan tipe manusia yang
gampang patah. Ibunya pekerja keras, biasa membantu keluarga tetangga memasak
untuk hajatan. Wito kecil itu juga seorang ulet. Ia bekerja keras
membantu siapa pun sambil bersekolah. Lulus SMA swasta di kampungnya, ia hijrah
ke Jakarta untuk 'ikut orang'. Ia bukan saja andalan keluarga yang diikutinya
untuk tugas-tugas domestik, namun juga andalan masjid untuk menjaga kebersihan.
Masih sempat pula ia kuliah. Meskipun dengan tertatih-tatih, ia mampu
merampungkan kuliahnya. Sebuah bekal untuk memperoleh pekerjaan di sebuah
kantor di Solo.

Di kantor itu, ia pekerja andalan. Ia sanggup mengerjakan tugas apa pun
tanpa pilih-pilih. Kepala Bagian Umum menjadi tempat yang pas baginya, sampai
kemudian perusahaan itu bangkrut. Ia harus kehilangan pekerjaan, saat sudah
harus menanggung beban keluarga dengan satu anak. Limbung? Wito bukan seorang yang
suka memikirkan nasib. Apalagi, meratapi dan mengasihani diri sendiri
sebagaimana jutaan manusia lain. Ia memilih berbuat dan berbuat. Ia tahu persis
bahwa perbuatanlah, dalam istilah agama adalah amal, yang akan dinilai
di Hari Akhir nanti. Bukan pikiran, apalagi ratapan. Mushala kecil di
sekitarnya ia rawat dengan baik. Anak-anak di sekitar itu diajarinya mengaji,
tanpa bayaran sama sekali. Untuk penghidupannya sendiri, ia menyewa becak dari
tetangganya. Tanpa ragu dan malu sama sekali serta tanpa mempersoalkan bahwa
dirinya sarjana, ia menarik becak itu. Sebuah becak yang kemudian menjadi
miliknya.

Sang istri semestinya bisa membantunya. Tapi, kondisi fisik istrinya
ternyata sangat lemah. Apalagi, saat istrinya hamil. Dengan riang hati, Wito
menyampaikan pada istrinya untuk berhati-hati dan menjaga kesehatannya sendiri.
Seluruh urusan pekerjaan rumah ia tangani sendiri pula. Seusai jamaah Subuh di
mushala, ia akan masak untuk keluarga, mencuci pakaian, serta menyapu rumah dan
halaman sekitar. Lalu, ia mandi dan menarik becak hingga sekitar pukul 10 pagi.
Saat itulah ia akan membelokkan becaknya ke pasar untuk berbelanja kelapa.

Dengan tangannya sendiri, ia membuat gerobak untuk berjualan es kelapa di
dekat rumahnya. Sendiri ia berjualan es kelapa. Dengan harga murah, tempatnya
menjadi pilihan para pengendara motor untuk istirahat sejenak, menghapus
dahaga. Malam hari, setelah mengajar mengaji, ia sempatkan diri untuk mengikuti
kursus pijat terapi. Ia terus perdalam sampai menjadi pemijat mahir. Jam berapa
pun diminta untuk memijat, ia akan berangkat tanpa pernah mau menetapkan
ongkosnya. Berapa pun yang ia dapatkan, akan ia syukuri.

Menarik becak, jualan es kelapa, hingga menjadi pemijat menjadi ladang
rezeki yang terus ditekuninya dengan riang. Hasilnya, di antara banyak teman
seangkatannya, kehidupannya relatif berkah. Ia punya rumah dengan tanah hampir
seluas 300 meter di tepi salah satu jalan penting di Kota Solo. Ia dapat
menyekolahkan anaknya ke sekolah yang bagus, yang oleh kalangan kebanyakan
sudah dipandang elite. Lebih dari itu, praktis shalat lima waktunya terjaga
untuk selalu berjamaah. Hal yang sekarang semakin sulit dijaga oleh kita yang
kadang merasa menjaga agama sekalipun.

Di tengah jutaan para sarjana yang lebih banyak hilir mudik mencari pekerjaan;
di tengah jutaan pegawai negeri ataupun swasta yang kegembiraan utamanya
memperoleh komisi; di tengah banyak pebisnis besar yang sebenarnya cuma calo;
di tengah banyak orang-orang terhormat yang seolah bekerja untuk rakyat, tapi
kesibukan utamanya mencari jalan untuk 'mencuri' uang rakyat; Wito sungguh
penjemput surga yang efektif. Ia seorang yang riang untuk selalu berbuat dan
berbuat.


Hanya sesekali ia tampak sedih, dengan alasan yang istimewa. Di antaranya,
setelah pemerintah menaikkan harga BBM secara mendadak. Tanpa bertahap. Setelah
kenaikan harga BBM itu, ia sebagaimana ratusan ribu pedagang kecil lainnya
harus berhenti berdagang. Harga jual es-nya tak lagi cukup untuk membeli kelapa
di pasar. Ketika ia mencoba menaikkan sedikit harga itu, orang-orang tak lagi
mampu membeli. Maka, ia pun menutup usaha. "Kasihan, pelanggan saya tak
kuat lagi membeli," katanya. Ia, sekali lagi, lebih mengasihani orang lain
ketimbang diri sendiri.


Adakah di antara kita yang lebih dekat ke jalan surga ketimbang Wito? Adakah
jalan untuk menjadikan seluruh bangsa ini menjadi pribadi-pribadi penjemput
surga? Yakni, pribadi yang tak punya rasa sakit hati, kecewa, apalagi putus
atas. Juga pribadi yang tidak malas, namun justru antusias untuk terus berbuat
dan berbuat.

"Manusia yang terbaik adalah yang paling banyak membaca, paling bertakwa, paling sering beramar ma'ruf nahi munkar, dan paling gemar menjalin hubungan silaturahmi. " (Muhammad SAW).
kampusku

Salam Sukses
Agus sangpanglima/facebook : Agusyaskum@asia.com


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar