0

BANGKIT BANGSAKU :Penegakan HAM, Tak Mungkin Mundur Lagi

Rabu, 11 November 2009
Share this Article on :


Salam,..

Hampir tidak ada yang berubah pada diri Ester Indahyani Jusuf saat bersua lagi setelah lebih dari tujuh tahun lampau. Ia tetap berdiri di depan untuk memperjuangkan penghargaan dan penegakan hak asasi manusia, khususnya antidiskriminasi dan antirasialisme di negeri ini. Ia tetap saja bersahaja.

Ester menggeluti penegakan HAM terkait persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sejak tahun 1998. Ia tidak bergeser dari idealisme persamaan hak dan perlakuan itu meski banyak tawaran bidang lain, yang lebih menggiurkan secara materi.

Gerakan antidiskriminasi dan antirasialisme yang digelorakannya tidak hanya terkait etnis Tionghoa, tetapi lebih luas lagi. Warga yang berasal dari etnis mayoritas pun bisa mengalami diskriminasi di negeri ini.

�Saya pernah memperjuangkan seorang warga Sunda yang diperlakukan diskriminatif di sebuah perusahaan. Padahal, selama ini hampir tak ada perjuangan penegakan HAM, yang terkait persoalan SARA, yang tak berhasil,� kata Ester, pekan lalu di Jakarta.

Melalui Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), dia terus mendorong tumbuhnya kebersamaan sebagai satu anak bangsa. Ini lahan garapan yang masih luas dan menantang karena sampai kini perilaku rasialis dan diskriminatif masih mewarnai kehidupan berbangsa kita. �Kita tak mungkin lagi mundur untuk menegakkan HAM,� kata Ester.

Bagaimana kini kondisi penegakan HAM di negeri ini?

Khusus masalah SARA masih parah. Namun, yang paling parah adalah segala sesuatu yang terkait masa lalu karena sudah dianggap selesai. Kalau kita bicara mengenai penegakan HAM masa lalu, dianggap merugikan kepentingan bangsa dan tak mendukung kemajuan bangsa.

Kita memang dijanjikan kondisi yang lebih baik, seperti undang-undang dibenahi, penghargaan HAM pada masa kini diperbaiki, tetapi masa lalu jangan diutik-utik. Padahal, pada masa lalu aneka pelanggaran HAM terjadi dan tak banyak yang selesai. Banyak yang mengatakan, persoalan korban sudah selesai dan kejadiannya sudah selesai, lalu mau apa lagi? Kalau seperti itu, berarti pelanggaran HAM masa lalu tak akan selesai.

Misalnya, peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kalau saja ada seribu pelaku pemerkosaan, pembakaran, atau perusakan, apakah mereka dianggap tidak ada? Mereka tetap ada. Korban juga tetap ada. Mereka sampai kini menanggung beban sejarah yang tak selesai, yang dilakukan atau dialami, yang bisa memengaruhi pola pikir mereka.

Memang saat ini sudah ada UU Antidiskriminasi Ras dan Etnis, UU Kewarganegaraan, dan UU Administrasi Kependudukan yang menghargai hak warga negara. Secara politis juga lebih melindungi ras dan etnis, terutama Tionghoa, tetapi untuk keseluruhan etnis di negeri ini belum. Rasialisme dianggap hanya masalah Tionghoa, padahal bukan. Namun, kalau ada masalah terkait rasialisme yang dialami etnis Tionghoa memang kasusnya membesar dan memperoleh perhatian secara nasional. Kalau etnis lain tidak. Misalnya yang menjadi korban adalah warga Madura, tidak dianggap masalah atau dianggap sudah selesai. Siapa yang kini masih membicarakan masalah Sambas? Ya, dianggap selesai. Juga yang dialami etnis Betawi dan Papua.

Pelanggaran HAM terkait etnis, apa pun etnisnya, hampir tak ada yang diselesaikan. Khusus kasus kerusuhan Mei 1998, karena mengangkat persoalan ini, diciptakan situasi seolah-olah kasus ini adalah persoalan masa lalu yang tak harus diselesaikan melalui jalur hukum, rekonsiliasi. Bagaimana kita dapat saling menerima, memaafkan satu sama lain. Ini diangkat oleh semua calon presiden pada pemilu yang lalu dan sebelumnya. Intinya menegasikan masalah hukum dan HAM yang sebenarnya belum selesai.

Perhatian pada etnis Tionghoa karena terkait ekonomi...?

Tidak. Sebenarnya lebih terkait kepentingan politik. Bahwa ada terkait dengan persoalan ekonomi, memang iya. Padahal, masalah yang terkait dengan etnis lain itu banyak, dan belum selesai, terutama terkait pelanggaran HAM yang mereka alami.

Sebenarnya kejahatan diskriminasi itu masih terjadi, misalnya dalam penerimaan tenaga kerja. Misalnya, ada seseorang dengan nilai tertinggi dalam seleksi, tetapi tidak diterima pada kantor yang dilamarnya. Apakah ada persoalan etnis? Pembuktiannya memang susah. Tetapi, ini memang dirasakan masyarakat. Masalahnya, memang ada yang berkeinginan melakukan diskriminasi, tetapi agar tak ketahuan.

Jadi, masih banyak pekerjaan untuk mewujudkan kehidupan tak diskriminatif di negeri ini...?

Masih banyak sekali. Mungkin juga sedikit yang beritikad untuk menyelesaikannya persoalan HAM di masa lalu sehingga ada kehidupan yang tak diskriminatif itu.

Mengapa Anda berani mengambil jalur penegakan HAM, khususnya antidiskriminasi ini?

Mungkin karena aku nggak sempat berpikir ke situ, berani atau tidak berani. Tetapi, pekerjaan ini banyak. Kalau kita sibuk dengan pikiran yang terkait dengan risiko, kapan kita bisa maju? Jalan saja. Soal risiko, banyak hal di luar kuasa kita. Kita tidak melakukan apa-apa, bisa seperti tukang becak yang tertimpa pesawat juga atau keluar rumah tertabrak bajaj atau terpeleset. Semua ada risiko.

Bidang pembelaan HAM kan tak menjanjikan kesejahteraan...

Kalau yang dimaksud kerja terkait masalah SARA, rasialisme, memang tak menjanjikan uang. Bahkan, terkadang kita keluar uang. Tentu saja aku harus bekerja yang lain untuk menafkahi diriku, selain kerja sosial. Semua dihitung baik. Masalahnya bukan uang di sini, namun kita mempunyai keinginan. Ini tak mungkin terjadi jika aku tidak bekerja.

Artinya, jika orang hanya bicara tak ingin ada rasialisme di sini, tidak cukup. Kita harus bekerja. Ada harga yang harus dibayar, ya dibayar saja. Jika mau membuat kegiatan yang menentang rasialisme atau membuat UU, ya kerjakan saja. Tidak bisa kita hanya bermimpi. Kita harus mengerjakannya.

Apa yang mendorong Anda terus menggeluti bidang ini?

Kalau hukum dan HAM secara umum memang tak ada hal yang khusus. Pada saat aku lulus SMA, papaku dan seorang pendeta memintaku masuk fakultas hukum sehingga suatu saat aku bisa membela orang-orang lemah. Buatku sederhana saja, jika Tuhan izinkan, aku mau masuk fakultas hukum yang baik dan jaga tanganku tetap bersih, tidak menyuap orang. Ya, seperti jalan di karpet merah, Tuhan memberikanku jalan. Aku tidak ingin salah. Sesimpel itu. Sampai sekarang pun aku tak perlu menyuap untuk memperjuangkan impianku. Organisasi berjalan dengan baik.

Tidak ada peristiwa khusus, tetapi dengan banyak mengalami peristiwa membuatku tak mungkin mundur lagi. Kadang kala ingin mundur, ingin berhenti. Lelah juga. Tetapi, mengingat para korban, ya mau mundur bagaimana caranya? Siapa yang mau membantu mereka? Ketika aku lelah, aku ingat wajah korban pelanggaran HAM, seperti Ibu Ruminah atau mereka yang menjadi korban 1965. Aku akan berjanji sekuatku agar keadilan terungkap. Janji kan gampang, bisa diingkari. Tetapi, setelah berjalan dan bertemu ribuan korban, bagaimana mundurnya? Tidak mungkin. Kita sudah melihat ribuan korban ketidakadilan. Siapa yang mau menyentuh mereka. Jika negara peduli dan masyarakat mendukungnya, mungkin saatnya saya mundur. Masalahnya selesai.

Bagaimana Anda melihat sejumlah korban pelanggaran HAM yang berbalik, melemahkan upaya penegakan HAM?

Ini memang fenomena yang tidak diharapkan. Tetapi, itulah realita. Orang yang semula menjadi korban pelanggaran HAM begitu mudah menukar idealismenya hanya karena uang atau kesempatan. Aku tak ingin menghakimi mereka. Tetapi, tindakan mereka itu merugikan penegakan HAM secara umum. Pandangan pada HAM atau kemanusiaan menjadi demikian rendahnya. Ini tantangan untuk mereka yang terus berteriak soal penegakan HAM. Apalagi, tak ada jaminan apa-apa untuk mereka yang terus memperjuangkan penegakan HAM. [Kompas, 5/11/09]

------

Melanjutkan semangat kepemimpinan dan keteladanan pemuda Indonesia 1928 bagi masa depan bangsa.

Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.
'
Salam

Agus sang panglima email/facebook: alexatea.akon@gmail.com


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar